Minggu, 17 Juni 2012

Emosi, Perasaan dan Jiwa


Emosi, Perasaan dan Jiwa

Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi adalah reaksi terhadap seseorang atau kejadian. Emosi dapat ditunjukkan kerika merasa senang mengenai sesuatu, marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap sesuatu.

Jiwa adalah energi mental yang memiliki kekuatan untuk dapat memotivasi terjadinya proses perilaku yang menjadi bentukan aktivitas yang dilakukan sehari-hari.

Beberapa teori psikologi menyebut perasaan sebagai segala sesuatu yang kita rasakan. perasaan adalah unsur yang sangat berpengaruh pada kehidupan kita, perasaan bisa membuat kita hidup atau mati.

NORMAL DAN ABNORMAL


NORMAL DAN ABNORMAL


Menggambarkan ciri-ciri tingkah laku yang norma atau sehat biasanya relatif agak sulit dibanding dengan tingkah laku yang tidak normal. Ini disebabkan karena tingkah laku yang normal seringkali kurang mendapatkan perhatian karen tingkah laku tersebut dianggap wajar, sedangkan tingkah laku abnormal biasanya lebih mendapatkan perhatian karena biasanya tidak wajar dan aneh (Siswanto, 2007 :24)
Pribadi yang normal itu pada umumnya memiliki mental yang sehat, sedangkan pribadi yang abnormal biasanya juga memiliki mental yang tidak sehat. Namun demikian, pada hakekatnya konsep mengenai normalitas dan abnormalitas itu sangat samar-samar batasnya. Sebab pola kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan normal oleh suatu kelompok tertentu, bisa dianggap abnormal oleh kelompok lainnya. Akan tetapi apabila satu tingkah laku itu begitu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum (biasa pada umumnya), maka kita akan menyebutnya sebagai abnormal (Kartini kartono, 2000 :6-7)
Dilihat dari setiap segi pandang, konsep normalitas-abnormalitas adalah konsep yang bersifat relatif. Penyimpangan dari norma apa pun yang diterima seseorang mungkin begitu kecil atau mungkin begitu mencolok sehingga kelihatan jelas sifat abnormalnya. Tetapi karena tidak ada dikatomi yang tegas, maka normalitas dan abnormalitas sulit dibedakan.
Kebanyakan orang menerima bahwa penyesuaian diri yang baik sangat serupa dengan normalitas dan ketidakmampuan menyesuaikan diri sama dengan abnormalitas. Konsep-konsep ini berhubungan erat, tetapi artinya berbeda (Yustinus Semium, 2006 :56)
Sehat dan normal seringkali digunakan makna yang sama. Normal mengandung beberapa pengertian. Survei yang dilakukan Offer dan Sabsiro ditemukan lima pengertian normalitas yaitu :
1. Tidak adanya gangguan atau kesakitan
2. Keadaan yang ideal atau keadaan mental yang positif
3. Normal sebagai rata-rata pengertian statistik
4. Diterima secara sosial
5. Proses berlangsung secara wajar, terutama dalam tahapan perkembangan. (korchin, 1976)

Sedangkan secara antropologis, Ackerknecht menyatakan bahwa prilaku dibedakan dalam 4 kategori, yaitu :
1. Autopathological, yaitu prilaku abnormal dalam suatu budaya yang ditempati tetapi normal dibudaya lain.
2. Autonormal, yaitu prilaku normal budaya yang ditempati tetapi tidak normal untuk budaya yang lain.
3. Heteropathologikal, yaitu prilaku abnormal dalam seluruh budaya.
4. Heteronormal, yaitu prilaku normal dalam semua budaya. (Marsella dan White, 1984)
Didasarkan klasifikasi pengertian normal itu atau kategori prilaku diatas, maka istilah normal tidak selalu berarti sehat. Sehat lebih bermakna pengertian khusus, yaitu keadaan yang ideal atau keadaan mental yang positif. Meskipun itulah normal dapat digunakan untuk menyebut istilah sehat, namun tidak selalu tepat digunakan.
Normal secara harfiah berarti “konformitas” dengan suatu norma atau ukuran. Norma atau ukuran itu kerap kali berarti rata-rata dalam istilah statistik. Misalnya, tinggi normal pria indonesia adalah rata-rata 160 cm. Abnormal dalam arti ini adalah penyimpangan jauh dari rata-rata. Salah satu tugas dari statistik adalah mencari suatu angka disekitar mana nilai-nilaidalam suatu distribusi memusat. Angka yang menjadi pusat distribusi disebut “tendensi sentral”. Angka yang menjadi pusat distribusi dalam contoh diatas adalah 160 cm. Dengan demikian, pria indonesia yang tingginya 190 cm dikatakan abnormal.
Konsep statistik tentang normal dapat juga diterapkan pada tingkah laku manusia dan penyesuaian diri, tetapi kadang-kadang hasilnya mengejutkan dan membingungkan. Misalnya, menurut keterangan statistik anak laki-laki “rata-rata” telah melakukan masturbasi pada usia 15 tahun dan dari sini disimpulkan bahwa kebiasaan tersebut adalah normal. Kemudian lebih membingungkan lagi kalau ditarik kesimpulan bahwa apa saja normal adalah hal yang kodrati dan mengemukakan bahwa tingkah laku normal dalam pandangan statistik harus diterima tanpa memperhatikan cacat sosial atau moralnya. Ada beberapa contoh dalam pandangan statistik yang mengacu pada kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Misalnya, anak-anak yang berusia 6 tahun adalah normal kalau mengadakan 4 atau 5 tampalan gigi, atau normal bagi bagi rata-rata pria kalau merokok 2 bungkus gudang garam sehari, tetapi apa yang dikatakan normal disini sama sekali tidak diinginkan atau diterima.



Pendekatan statistik sudah pasti dapat dipercaya dan berguna apabila yang diukur adalah faktor-faktor yang jelas seperti berat dan tinggi serta intelegensi tetapi dari segi pandangan penyesuaian diri, kesulitan dengan konsep “normal” dalam pandangan statistik ialah normal tersebut diturunkan dari apakah manusia itu atau apakah yang dilakukannya dan bukan dari kriteria untuk tingkah laku adekuat. Mungkin dalam pandangan statistik adalah normal kalau suami-istri bertengkar, tetapi dalam pandangan psikologi adalah jelek.
Normalitas dan abnormalitas menurut Norma budaya dan norma pribadi. Dari segi pandangan budaya, tingkah laku dan sikap hidup seseorang dianggap normal atau abnormal tergantung pada lingkungan sosial (budaya) tempat ia tinggal. Masyarakat merupakan pengawas (hakim) yang keras dan kejam terhadap tingkah laku para anggotanya dan tidak membiarkan penyimpangan-penyimpangan tingkah laku dari adat istiadat atau norma umum yang sudah ada. Kebebasan dalam batas yang rasional dari anggotanya bisa diberikan agar ia dapat mengungkapkan dirinya dengan bebas. Tetapi, penyimpangan radikal yang menyebabkan kekacauan pada individu dan orang-orang disekitarnya sangat kejam. Orang yang demikian dianggap sebagai pribadi yang abnormal.
Kalau normalitas dan abnormalitas dikaitkan dengan pandangan budaya, maka akibatnya adalah adat kebiasaan dan norma-norma hidup yang dianggap normal oleh kelompok budaya tertentu bisa dianggap abnormal oleh kelompok budaya lain. Atau juga apa yang dianggap abnormal oleh satu generasi atau atau masyarakat beberapa ratus tahun yang lalu mungkin bisa diterima dan dianggap normal oleh masyarakat modern dewasa ini.
Misalnya, dalam beberapa budaya halusinasi merupakan petunjuk adanya skizofrenia dan individu yang berhalusinasi akan dirawat dirumah sakit. Tetapi dalam budaya-budaya lain, halusinasi dilihat sebagai suara dewa dan individu yang berhalusinasi diangkat menjadi imam (Murphy, 1976). Dengan demikian dari segi pandangan budaya, abnormalitas didefinisikan menurut norma-norma budaya, dan hak dari individu diabaikan.
Tetapi, normalitas juga ditentukan oleh ukuran/norma pribadi. Bila tingkah laku didasarkan pada norma pribadi, maka perhatian dipusatkan kepada :
1. Kesukaran (kesulitan) yang dihadapi individu (individu dikatakan abnormal bila ia cemas, tertekan, tidak puas, atau sangat kalut)
2. Disabilitas individu (individu dikatakan abnormal bila ia tidak dapat berfungsi secara personal, sosial, fisiologis dan okupasional).


Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa kesulitan, disabilitas, dan penyimpangan dapat beperan dalam mendefinisikan tingkah laku abnormal. Kita harus tetap fleksibel berkenaan dengan kriteria yang digunakan dalam menentukan apakah individu tertentu itu abnormal atau tidak. Misalnya, apabila kita hanya menggunakan norma pribadi, maka individu yang bahagia tetapi mengalami halusinasi tidak akan dirawat, dan sebaliknya bila kita hanya menggunakan norma budaya, maka orang yang mengalami depresi tidak mengganggun siapapun akan diabaikan sampai ia berusaha dan berhasil bunuh diri.
Terkadang norma personal dan norma kultural bertentangan. Bisa terjadi norma kultural digunakan dan hak-hak dari individu diabaikan. Misalnya, kasus homoseksualitas (di amerika serikat). Praktek homoseksualitas menyimpang dari norma kultural, tetapi kemudian muncul suatu pertanyaan : Apakah kita berhak menyebut orang-orang homoseksual itu “abnormal” karena preferensi seksual mereka? Sudah bertahun-tahun homoseksualitas disebut “abnormal”, tetapi pada tahun 1980 di Amerika Serikat, hal tersebut dipertimbangkan lagi oleh panel para ahli dalam Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders yang memutuskan tingkah laku-tingkah laku seperti apakah yang akan didaftar, dan mereka telah memutuskan bahwa homoseksualitas bukan gangguan mental, kecuali individu tidak merasa bahagia terhadap preferensi seksualnya.
Hal ini dipertimbangkan lagi pada tahun1987, dan homoseksualitas tidak dianggap sebagai gangguan abnormal. Dengan demikian dalam kasus homoseksualitas, hak-hak dari individu lebih diutamakan daripada norma-norma kultural. Dengan tidak mengabaikan norma kultural dan norma personal seperti yang dikemukakan diatas. Tingkah laku abnormal mungkin dapat didefinisikan sebagai tingkah laku yang menyulitkan atau melumpuhkan pribadi orang itu sendiri atau secara kultural begitu menyimpang sehingga orang lain menilai tingkah laku itu tidak tepat atau maladaptif.
Pribadi normal dengan mental yang sehat akan bertingkah laku adekuat (serasi, tepat) dan bisa diterma oleh masyarakat pada umumnya. Sikap hidupnya sesuai dengan norma dan pola hidup kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan. Pribadi yang normal dengan mental sehat itu secara relatif dekat sekali dengan Integritas jasmaniah-rokhaniah yang ideal . Kehidupan psikisnya stabil, tidak banyak memendam konflikinternal, suasana hatinya tenang, imbang dan jasmaninya selalu sehat.
Sebaliknya pribadi abnormal dengan mental yang tidak hygienis/sehat mempunyai atribut sebagai berikut. Secara relatif mereka itu jauh daripada status integrasi, dan punya atribut “inferior” dan “superior”. Kompleks-kompleks inferior ini misalnya kita temukan pada para penderita, psikosa, neurosa, dan psikopat.
Sedangkan gejala kompleks-kompleks superior terdapat pada kaum idiot savant, yaitu para ilmuwan atau cerdik pandai yang luar biasa pandainya, namun bersifat idiot. Mereka memiliki derajat intelagensi sangat tinggi atau supernormal, memiliki bakat-bakat yang luar biasa. Misalnya dibidang seni, musik, matematika, teknik, ilmu pengetahuan alam, keterampilan tangn dan lain-lain. Akan tetapi mereka mengidap defek atau defisiensi mental secara total, sehingga tingkah lakunya aneh, kejam, sadis, atau sangat abnormal.
Pribadi abnormal pada umumnya dihinggapi gangguan mental, baik yang tunggal atau pun yang ganda, dengan kelainan-kelainan atau abnormalitas pada mentalnya, selalu diliputi banyak konflik batin, jiwanya miskin atau tidak stabil, tidak punya perhatian pada lingkungan sekitar, terpisah hidupnya dari masyarakat, dan selalu merasa gelisah, takut, biasanya mereka itu pun suka sakit-sakitan.
Ciri-ciri individu yang normal atau sehat (Warga, 1983) pada umunya adalah sebagai berikut :
1. Bertingkah laku menurut norma-norma sosial yang diakui.
2. Mampu mengelola emosi.
3. Mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki
4. Dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan sosial
5. Dapat mengenali resiko dari setiap perbuatan dan kemampuan tersebut digunakan untuk menuntut tingkah lakunya.
6. Mampu menunda keinginan sesaat untuk mencaoai tujuan jangka panjang.
7. Mampu belajar dari pengalaman
8. Biasanya gembira.
Harber dan Runyon (1984), menyebutkan sejumlah ciri individu yang bisa dikelompokkan sebagai normal adalah sebagai berikut :
1. Sikap terhadap diri sendiri. Mampu menerima diri sendiri apa adanya, memiliki identitas diri yang jelas, mampu menilai kelebihan dan kekukarangan diri sendiri secara realitis.
2. Persepsi terhadap realita. Pandangan yang realistis terhadap diri sendiri dan dunia sekitar yang meliputi orang lain maupun segala sesuatunya.
3. Integrasi. Kepribadian yang menyatu dan harmonis, bebas dari konflik-konflik batin yang mengakibatkan ketidakmampuan dan memiliki toleransi yang baik terhadap setres.
4. Kompetensi. Mengembangkan keterampilan mendasar berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, emosional, dan sosial untuk dapat melakukan koping terhadap masalah-masalah kehidupan.
5. Otonomi. Memiliki ketetapan diri yang kuat, bertanggung jawab, dan penentuan diri dan memiliki kebebasan yang cukup terhadap pengaruh soaial.
6. Pertumbuhan dan aktualisasi diri. Mengembangkan kecenderungan kearah peningkatan kematangan, pengembangan potensi, dan pemenuhan diri sebagai seorang pribadi.
7. Relasi interpersonal. Kemampuan untuk membentuk dan memelihara relasi interpersonal yang intim.
8. Tujuan hidup. Tidak terlalu kaku untuk mencapai kesempurnaan, tetapi membuat tujuan yang realistis dan masih didalam kemampuan individu.
Deskriptif tentang pribadi normal dengan mental yang sehat diuraikan dalam satu daftar kriteria oleh Maslow and Mittelmann dalam bukunya “Principles of Abnormal Psychology”. Yang esensinya kami kutip sebagai berikut :
1. Memiliki rasa aman (sense of secirity) yang tepat, mampu berkontak dengan orang lain dalam bidang kerja, ditengah pergaulan (medan sosial) dan dalam lingkungan keluarga.
2. Memiliki penilaian-diri/self-evaluation dan wawasan diri yang rasional, dengan rasa harga diri yang sedang, cukup, tidak berlebihan. Memiliki rasa sehat secara moril, dan tidak dihinggapi rasa-rasa berdosa atau bersalah. Bisa menilai prilaku orang lain yang a-sosial dan non-manusiawi sebagai gejala masyarakat yang “menyimpang”.
3. Punya spontanitas dan emosionalitas yang tepat. Dia mampu menjalin relasi yang erat, kuat dan lama. Seperti persahabatan, komunikasi sosial, dan relasi cinta. Jarang kehilangan kontrol terhadap diri sendiri, penuh tenggang rasa terhadap pengalaman orang lain. Dia bisa tertawa dan bergembira secara bebas, dan mampu menghayati penderitaan dan kedukaan tanpa lupa diri.
4. Mempunyai kontak dengan realitas sedara efisien, tanpa ada fantasi dan angan-angan yang berlebihan. Pandangan hidupnya realistis dan cukup luas. Dengan besar hati dia sanggup menerima segala cobaan hidup, kejutan-kejutan mental, serta nasib buruk lainnya. Dia memiliki kontak yang riil dan efisien dengan diri sendiri. Mudah melakukan adaptasi, atau mengasimilasikan diri jika lingkungan sosial atau dunia luar memang tidak bisa diubah oleh dirinya. Dia bisa menjalin “cooperation with the inevitable” yaitu bersifat kooperatif terhadap keadaan yang tidak bisa ditolaknya.
5. Memiliki dorongan dengan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat, dan mampu memuaskannya dengan cara yang sehat, namun dia tetap tidak bisa diperbudak oleh nmafsunya sendiri. Dia mampu menikmati kesenangan hidup (makan, minum, rekreasi), dan bisa cepat piluh dari kelelahan. Nafsu seknya cukup sehat, bisa memenuhi kebutuhan seks dengan wajar, tanpa terbebani rasa takut dan berdosa. Dia bergairah untuk bekerja, dan dengan tabah menghadapi segalakegagalan.
6. Mempunyai pengetahuan diri yang cukup, dengan motif-motif hidup yang sehat dan kesadaran tinggi. Dia cukup realistis, karena bisa membatasi ambisi-ambisi dalam batas kenormalan. Juga patuh terhadap pantangan-pantangan pribadi dan yang sosial. Dia bisa melakukan kompensasi yang positif, mampu menghindari mekanisme pembelaan diri yang negatif sejauh mungkin dan bisa menyalurkan rasa inferiornya.
7. Memiliki tujuan hidup yang tepat yang bisa dicapai dengan kemampuan sendiri, sebab sifatnya wajar dan realistis, ditambah dengan keuletan mengejarnya, demi kemanfaatan bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya.
8. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidupnya, yaitu mengolah dan menerima pengalamannya dengan sikap yang luwes. Dia bisa menilai batas kekuatan sendiri dan situasi yang dihadapi guna meraih sukses. Akan dihindari semua teknik pembenaran-diri dan pelarian-diri yang tidak sehat, dan ia sanggup memperbaiki metode kerjanya agar lebih efisien dan lebih produktif.
9. Ada kesanggupan untuk memuaskan, tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya sebab dia konfrom dengan yang lain (tidak terlalu berbeda dan tidak menyimpang). Dia bisa mengikut adat, tatacara dan norma-norma kelompok sendiri. Dia akan tetap memperlihatkan rasa persahabatan, tanggungjawab, loyalitas dan melakukan aktifitas rekreasi yang sehat dengan anggota lainnya.
10. Ada sikap emansipasi yang sehat terdapat kelompoknya dan terdapat kebudayaan, namun tetap dia memiliki originalitas dan individualitas yang khas, sebab ia mampu membedakan yang baik dari yang buruk. Dia menyadari adanya kebebasan yang terbatas dalam kelompoknya, tanpa memilikinya kesombongan, kemunafikan, dan usaha mencari muka, dan tanpa ada hasrat menonjolkan diri terlalu kedepan. Lagi pula dia memiliki derajat apresiasi dan toleransi yang cukup besar terhadap kebudayaan bangsanya dan terhadap perubahan-perubahan sosial.
11. Ada integritas dalam kepribadianya yaitu kebulatan unsur jasmaniah dan rokhaniahnya. Dia mudah mengadakan asimilasi dan adaptasi terhadap perubahan yang serba cepat, dan punya minat pada macam-macam aktifitas. Dia juga punya moralitas dan kesadaran yang tidak kaku, namun dia tetap memiliki daya konsentrasi terhadap satu usaha yang diminati. Juga tidak ada konflik-konflik serius dalam dirinya, dan tanpa diganggu oleh dissosiasi terhadap lingkungan sosialnya. (Kartini Kartono, 2000)
Dengan sendirinya semua kriteria yang dikemukakan oleh Maslow c.s. itu merupakan ukuran ideal, atau merupakan standar yang relatif sangat tinggi. Dan seorang yang normal pun tidak akan bisa diharapkan memenuhi secara mutlak kriteria tadi. Sebab setiap individu pasti punya kekurangan dan kelemahan dalam struktur kepribadiannya. Namun demikian dia tetap memiliki mental yang sehat, sehingga bisa digolongkan dalam klas manusia normal. 
Sebaliknya, jika seorang itu terlalu jauh menyimpang dari kriteria tersebut diatas, dan banyak segi-segi karakteristiknya yang devisien (rusak, tidak efisien) maka pribadi tadi bisa digolongkan dalam kelompok pribadi abnormal. Selanjutnya, pribadi normal dengan mental yang sehat itu selalu memperlihatkan reaksi-reaksi personal yang cocok, tepat terhadap stimulasi eksternal. Karena itu reaksi-reaksi kenormalan pada tingkat psikologis dan sosial biasanya diukur dengan kelakuan individu ditengah kelompok tempat hidupnya. Reaksi tersebut disebut normal, bila tepat dan sesuai dengan ide dan pola tingkah laku kelompok, dan cocok dengan kesejahteraan umum dan kemajuan/progres. Karena itu normalitas/kesehatan mental ditandai oleh :
1. Integrasi kejiwaan
2. Kesesuaian tingkah laku sendiri dengan tingkah laku sosial
3. Adanya kesanggupan melaksanakan tugas-tugas hidup dan tanggungjawab sosial
4. Efisien dalam menanggapi realitas hidup.
Pada umumnya ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang termasuk kedalam kategori sehat secara mental ataukah tidak.
a. Pendekatan Statistik
Pendekatan ini beranggapan bahwa orang yang sehat secara mental/normal adalah orang yang melakukan tingkah laku yang umumnya dilakukan oleh banyak orang lainnya. Atau dengan kata lain, suatu tingkah laku disebut sehat bila tingkah laku tersebut memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dalam populasi. Sebaliknya, orang yang bertingkah laku tidak seperti tingkah laku kebanyakan orang dianggap sebagai orang yang tidak normal atau tidak sehat.
Sepintas pendekatan ini terlihat benar, namun bila difikirkan secara mendalam, tampak beberapa kelemahannya. Ada tingkah laku yang jarang dimilki oleh orang kebanyakan tapi tetap dianggap normal atau sehat. Misalnya mampu berbicara dalam 5 bahasa. Jarang ada orang yang memiliki kemampuan tersebut, namun orang yang memilikinya dianggap sebagai normal. Atau misalnya orang yang mampu berjalan diatas api tanpa terbakar, tetap dianggap sebagai orang yang sehat atu normal.
Sebaliknya, ada tingkah laku yang sebenarnya tidak sehat tetapi dilakukan oleh banyak orang. Misalnya merokok, tingkah laku merokok tergolong kedalam tingkah laku tidak sehat atau tidak normal, namun dilakukan oleh banyak orang.
b. Pendekatan Normatif
Pendekatan ini melihat orang secara sehat mental apakah tingkah laku orang tersebut menyimpang dari norma sosial yang berlaku dimasyarakat ataukah tidak. Tolak ukur yang dipakai dalam pendekatan ini adalah norma-norma yang berlaku dimasyarakat.
Orang yang mampu menyesuaikan diri dengan norma masyarakatnya dianggap sebagai orang yang memiliki kesehatan mental yang baik. Sementara orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma sekitarnya dianggap memiliki kesehatan mental yang buruk.
Pendekatan ini pun memiliki kelemahan, ada tingkah laku yang sebetulnya menyimpang dari norma yang ada tetapi dianggap sebagai normal. Misalnya tingkah laku homoseksual. Masyarakat barat sekarang ini menganggap prilaku homoseksul bukan lagi dikategorikan sebagai penyimpangan seks. Prilaku korupsi yang terjadi dinegara kita pada semua lapisan birokrasi, sekarang ini dianggap sebagai prilaku yang normal. Sebaliknya, orang yang tetap berusaha berprilaku jujur malah dianggap sebagai orang yang tidak normal dan bahkan “tidak sehat”.
c. Pendekatan Distress Subjektif
Pendekatan ini beranggapan orang dianggap normal atau sehat bila dia merasa sehat atau tidak ada persoalan dan tekanan yang menggangunya.
Kelemahan pendekatan ini adalah karena menekankan pada subjektifitas individu mengakibatkan tidak ada ukuran yang pasti sehingga semuanya menjadi serba relatif. Tergantung situasi yang dihadapi. Contohnya bila orang tiba-tiba berbicara terus menerus tanpa diketahui arti dimuka umum, maka dia dianggap sedang sakit atau terganggu dan tidak normal. Namun bila prilaku tersebut dimunculkan pada suatu ritual keagamaan, prilaku tersebut dianggap wajar dan normal.
d. Pendekatan Fungsi/Peranan Sosial
Pendekatan ini melihat normal atau sehat tidaknya seseorang berdasarkan mampu atau tidaknya orang tersebut menjalankan kegiatan hariannya. Orang dianggap sehat atau normal bila dia mampu menjalankan fungsi dan peranannya dalam masyarakat dan tidak mengalami gangguan dalam menjalankan tugas-tugas harioannya.

Kelemahan pendekatan ini adalah tidak semua orang bisa dikatakan normal meskipun dia mampu menjalankan fungsi dan perannya. Misalnya penderita gangguan bipolar (manis depresif). Pada saat orang yang bersangkutan mengalami episode mania, dia mungkin menjadi bersemangat dan mampu melakukan berbagai aktifitas dengan baik, padahal sebenarnya ia sedang terganggu.
e. Pendekatan Interpersonal
Pendekatan ini melihat normal atau sehat tidaknya seseorang atau apakah orang tersebut mampu menyesuaikan diri dilihat berdasarkan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang interpersonal dengan orang lain. Menurut pendekatan in, orang dikatakan sehat dan mampu menyesuaikan diri dengan dengan baik bila dia mampu menjalin relasi dengan orang lain dan tidak menarik diri dari orang lain.
Pendekatan ini pun memiliki kelemahan. Tidak selalu orang yang menyendiri itu tidak sehat atau tidak normal dan tidak mampu menyesuaiklan diri. Terkadang kesendirian itu penting supaya orang mampu menahani diri sendiri dengan lebih baik atau juga sebagai kesempatan untuk memulihkan diri. Juga tidak selalu orang yang mampu menjalin relasi dengan orang lain merupakan orang yang sehat. Misalnya bagi individu yang mengalami gangguan siklotimia, yaitu gangguan semacam manis depresi tetapi yang ayunan suasana perasaan tidak ekstrim. Penderitanya biasanya tidak bisa terpisah dari orang lain, baik episode hipomania maupun pada episode overaktif. Hal ini terutama disebabkan karena energi mereka berklaitan dengan lingkungannya.
Berbagai pendekatan diatas menunjukkan kesulitan yang muncul untuk memberi arti apa yang dimaksud dengan sehat secara mental. Kesehatan mental tidak hanya sekedar dipahami sebagai kemampuan untuk tahan dalam kondisi tekanan (setres) yang tinggi. Kesehatan mental juga tidak bisa dipahami hanya sebagai kemampuan untuk melakukan penyesuaian siri yang baik saja. Banyak orang yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tapi mereka belum bisa dikatan sehat secara mental. (Siswanto, 2007)

Pengertian Doktor dan lain-lain


Pengertian Doktor dan lain-lain

1. Pengertian Iman Dalam
Arti iman dalam Al-Qur’an maksudnya membenarkan dengan penuh Keyakinan bahwa Allah SWT. mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-hambaNya dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang jelas. Dan bahwaNya Al-Qur’an adalah kalam Allah yang Ia firmankan dengan sebenarnya.
Arti Iman dalam Hadits maksudnya iman yang merupakan pembenaran batin. Rasullallah menyebutkan hal-hal lain sebagai iman, seperti akhlak yang baik, bermurah hati, sabar, cinta Rasul, cinta sahabat, rasa malu dan sebagainya.
2. pengertian doktor
Secara operasional, definisi “Dokter” adalah seorang tenaga kesehatan (dokter) yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran.
3.Psikiater, inilah profesi spesialis yang sangat dibutuhkan bagi orang-orang untuk bisa mengatasi atau meredakan tingkat stress dalam kehidupannya. Apa itu psikiater dan apa saja pekerjaan yang dilakukan oleh seorang psikiater, mari kita bahas lebih mendalam.
4.Psikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental
5.Karakter adalah adalah perwatakan seseorang... dan tingkah laku seseorang.
6.Simpati sesuatu pengambil beratan seseorang terhadap seseorang.

BIMBINGAN KONSELING ISLAM


BIMBINGAN KONSELING ISLAM

1 . Dokter adalah profesi yang banyak berinteraksi dengan berbagai macam karakter manusia. Baik terhadap pasiennya (baca: klien kesehatan), sesama profesinya, maupun dengan kawan-kawan non profesinya.

2 . Psikolog adalah seorang ahli dalam bidang psikologi, bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Psikolog dapat dikategorikan ke dalam
beberapa bidang tersendiri sesuai dengan cabang ilmu psikologi yang ditekuninya

3 . Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

4 . Psikiater adalah profesi dokter spesialistik yang bertugas menangani masalah-masalah gangguan jiwa.

5 . Simpati adalah rasa kasih,rasa setuju dan rasa suka terhadap sesuatu.Simpati dapat pula dimaknai sebagai keikut sertaan mersakan perasaan orang lain, baik susah maupun senang.simpati berarti menarik perasaan orang lain,biasanya bila kita ketemu seseorang pertama kali yg mempunyai perangai baik,wajahnya yg ramah dan mengesankan kita akan jatuh hati.

Komponen dasar bimbingan konseling


Komponen dasar bimbingan konseling

Komponen adalah bentuk atau bagian, jadi komponen dasar bimbingan dan konseling adalah apa saja yang menjadi dasar dari bimbingan dan bimbingan konseling itu sendiri, sehingga dalam prosesnya akan berjalan sebagaimana mestinya. Yang ternasuk komponen dasar konseling yaitu :
1. Konselor
Konselor sebagai suatu propesi menolong memiliki peran-peran yang penting dalam kehidupan.propesi ini merupakan salah satu dari propesi-propesi lain yang tugasnya adalah memberikan bantuan kepada seseorang atau kelompok untuk memecahkan suatu masalah, baik masalah keluarga atau masalah dengan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, tantangan bagi konselor agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk membantu seseorang ataupun kelompok harus memiliki criteria-kriteria tertentu yaitu sebagai berikut :
a. Syarat menjadi konselor
1. Memiliki latar belakang pendidikan yang berkaitan dengan konseling dan juga mengikuti program propesi yang di selenggarakan disalah satu unuversitas.
2. Konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan ketakwaannya sesuai dengan agama yang di anutnya.
3. Konselor sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah klien.
b. Kompetensi konselor
1. Kompetensi pedagonis yang didalamnya terdapat beberapa hal di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Menguasai teori dan praktik pendidikan.
b. Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta prilaku konseling.
c. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan.
2. Kompetensi kepribadian
Kompetensi yang di miliki konselor adalah sebagai berikut :
a. Beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa.
b. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, dan kebebasan memilih.
c. Menunjukan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat
d. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi.





3. Kompetensi social
a. Mengimplementasikan kolaborasi internal di tempat kerja.
b. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling.
c. Mengimplementasikan kolaborasi antar propesi.
4. Kompetensi professional
Konselor harus memiliki kompetensi professional seperti berikut :
a. Menguasai konsep dan praktis asemen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseling.
b. Menguasai kerangka teoritis dan praktis bimbingan dan konseling.
c. Merancang program bimbingan dan konseling.
d. Mengimplementasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif.
e. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling
f. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika propesional.
g. Menguasai konsep dan praktis penelitian dalam bimbingan dan konseling.
Dalam buku penataan pendidikan propesional konselor dan layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal yang di terbitkan oleh depdiknas tahun 2008 disebutkan juga dua komponen sosok utuh kompetensi konselor. Yaitu kompetensi akademik konselor dan kompetensi professional konselor.
1. Kompetensi akademik konselor.
a. Mengenal secara mendalam klien yang hendak dilayani.
b. Menguasai khazanah teoritis dan procedural termasuk teknologi dalam bimbingan konseling.
- Menguasai secara akademis, teori, prinsip, teknik dan prosedur, serta sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.
- Mengemas teori, prinsip, dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan,prinsip teknik, dan prosedur dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
c. Menyelengarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memendirikan.
- Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
- Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
- Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian-penyesuaian (midcouese anjustment) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseling.
d. Mengembangkan profsionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan.


2. Kompetensi peofesional konselor
Penguasaan kompetensi propesional konselor di peroleh melalui penerapan kompetensi akademik dalam bimbingan dan konseling yang telah di kuasai pada tahap pendidikan akademik dijenjang S-1 bimbingan dan konseling dalam latihan yang sistematis serta beragam situasinya dalam konteks otentik dilapangan,yang dikemas sebagai pendidikan profsi konselor, yang diselengarakan dibawah penyelesaian konselor senior yang bertindak sebagai pembimbing atau supervisor. Pendidikan profesi konselor merupakan wahana untuk peletakan landasan kemampuan serta kebiasaan untuk mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan.

C .profil konselor
konselor adalah seorang terapis sehingga dia menjadi model terhadap kepedulian dan membantu pertumbuhan klien-kliennya. Adapun hal-hal yang perlu di miliki seorang konselor adalah sebagai berikut :
1. Identitas dari seorang konselor. Artinya bahwa seorang konselor harus memahami siapa dirinya, apa kemampuan yang dimiliki, apa yang diinginkan dalam hidup, dan apa yang dianggap penting. Konselor harus memiliki penguasaan dan kemampuan dalam berbagai teori mengenai konseling. Ini bertujuan agar dapat memberikan bantuan kepada seseorang ataupun kelompok.
2. Respek dan menghargai dirinya sendiri. Artinya konselor dapat memberikan bantuan, cinta, harga diri, dan kekuatan untuk diri sendiri.
3. Konselor mampu mengakui dan menerima kekuatan yang ada pada dirinya. Artinya konselor merasa mampu bahwa orang lain dapat merasakan kekuatannya, dan menggunakan kekuatannya untuk membantu klien.
4. Konselor mampu untuk bertoleransi terhadap perbedaan. Artinya konselor menyadari bahwa setiap individu berbeda dan dapat dipercaya.
5. Konselor mampu mengembangkan gaya dan cara dalam memberikan konseling. Artinya setiap konselor memiliki kekhasan dalam mengekpresikan serta dapat mengembangkan ide dan teknik-teknik yang ada.
6. Semangat hidup. Artinya konselor memiliki keaktifan dan memandang positif kehidupan, dan energy.
7. Asli, tulus, dan jujur. Artinya konselor tidak bersembunyi dibalik topeng, membela diri, peran yang kaku, dan menutupi kelemahan.
8. Konselor memiliki sence of humor. Artinya konselor mampu menempatkan kehidupannya dan menyadari bahwa mereka perlu tetap ceria.
9. Konselor mengakui bila berbuat salah. Artinya sebagai manusia, konselorpun tidak luput dari berbuat salah.
10. Konselor menghargai perbedaan budaya. Artinya menghargai beragamnya budaya dan nilai-nilai yang diyakini oleh orang yang berbeda budaya.
D . peran seoranng konselor
1. Sebagai mediator
Sebagai mediator, konselor akan menghadapi beragam klien yang memiliki perbedaan, budaya, nilai-nilai, agama serta keyakinan.
2. Sebagai penasehat dan pembimbinng. Peran konselor sebagai pembimbing dan penasehat adalah sebagai berikut :
a. Konselor memberikan bimbingan atau tuntunan kepada klien sesuai dengan masalah yang dihadapi keluarga tersebut. Oleh karena itu seorang konselor harus memilki kematangan dalam kepribadian agar konselor dapat memandang suatu masalah yang sedang di tanganinya dengan dewasa dan bijaksana.
b. Konselor memberikan nasehat dengan cara membantu klien agar dapat melakukan Sesuatu yang baik untuk keluarganya atau dirinya dan menghindari hal-hal yang tidak sepantasnya di lakukan, baik oleh dirinya ataupun keluarganya. Serta dapat menyelesaikan masalahnya.

2 . klien
Klien yaitu orang yang membutuhkan bantuan atau pelayanan dari seseorang ahli guna mendapat jawaban atau solusi. sehingga ia tidak lagi bermasalah.
a. Tujuan klien
Tujuan klien yang datang menemui konselor bersumber dari ekpektasiklien mengenai masalah mendesak yang sedang dirisaukan oleh klien. Dengan demikian, yang dirisaukan oleh klien pada saat itu adalah “ bagaimana mengatasi gangguan ini “ atau bahkan klien tidak mengerti perasaannya dan apa yang dikehendakinya menemui konselor. Dengan kata lain, klien sering kali tidak memiliki tujuan-tujuan masa datang yang terumuskan secara jelas.
Perlu ditegaskan lagi bahwa para klien menghadiri konseling dengan ekpektasi-ekpektasi dan tujuan-tujuan khas dan beragam dari klien ke klien. Seperangkat ekpektasi dan tujuan itu mempengaruhi arah dan hasil konseling, dan menentukan apakah konseling berlanjut, atau perlu direfer, ataukah konseling diakhiri¸setelah konseling sesi pertama.


3. Teknik-teknik konseling
Yang di maksud dengan teknik konseling disini adalah cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang konselor dalam proses konseling untuk membantu klien agar berkembang potensinya serta mampu mengatasi masalah yang dihadapi dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi lingkungannya yakni nilai-nilai social, budaya dan agama.dalam proses konseling, penguasaan terhadap teknik konseling akan merupakan kunci keberhasilanuntuk mencapai tujuan konseling. Seorang konselor yang efektif harus harus mampu merespon klien secara baik dan benar sesuai dengan klien pada saat itu. Respon-respon yang baik berupa pertanyaan-pertanyaan verbal dan nonverbal yang dapat menyentuh, merangsang, dan mendorong sehingga klien terbuka untuk menyatakan secara bebas perasaan, pikiran, dan pengalamannya.
Sebagai suatu proses, implementasi teknik-teknik konseling akan melalui beberapa tahap kegiatan. Tahap-tahap tersebut adalah :
1. Persiapan konseling
Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh konselor untuk memulai proses konseling yaitu :
a. Kesiapan untuk konseling
Kesiapan untuk konseling tertuju kepada konselor atau kliennya. Setiap aktivitas yang berproses akan memerlukan persiapan yang matang. Tanpa persiapan konseling tidak akan dapat berjalan dengan efektif dan sangat mungkin tujuan konseling tidak tercapai.
Hal-hal yang berkenaan dengan kesiapan konseling terutama yang berhubungan dengan klien adalah :
1. Motivasi klien untuk memperoleh bantuan.
2. Pengetahuan klien tentang konseling.
3. Kecakapan tentang intelektual.
4. Tingkat tilikan terhadap masalah dengan dirinya sendiri.
5. Harapan-harapan terhadap peran konselor,
6. System pertahanan diri
Agar klien siap dalam mengikuti konseling, disarankan kepada konselor agar melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Memulai pembicaraan dengan berbagai pihak tentang berbagai topic masalah dan pelayanan konseling yang diberikan.
2. Menciptakan iklim kelembagaan yang kondusif sehingga merangsang klien untuk memperoleh bantuan.
3. Menghubungi sumber-sumber referral ( rujukan ) misalnya dari organisai, sekolah dan madrasah, guru dan sebagainya.
4. Memberikan informasi kepada klien tentang dirinya dan prospeknya,
5. Melalui proses pendidikan itu sendiri.
6. Melakukan survai terhadap masalah-masalah klien, dan
7. Melakukan orientasi pra konseling.

b. Riwayat kasus.
Riwayat kasus adalah suatu kumpulan harta yang sistematis tentang kehidupan klien skarang dan masa yang lalu. menurut surya riwayat kasus dapat dibuat dalam berbagai bentuk:
1. Riwayat koneling psikoterapeutik,yang lebih memusatkan pada masalah-masalah psikoterapeutik dan diproleh melalui wawancara konseling.
2. Catatan komulatif ( commulative record), yaitu suatu catatan tentang berbagai aspek yang menggambarkan perkembangan seseorang.
3. Biografi dan autobiografi.
4. Tulisan-tulisan yang dibuat sendiri oleh klien yang berkasus, sebagai dokumen pribadi
5. Grafik waktu tentang kehidupan klien yang berkasus.

c. Evaluasi psikodiagnostik
Secara umum diagnosis dalam bidang psikologi berarti pernyataan tentang masalah klien, perkiraan sebab-sebab kesulitan, kemungkinan teknik-teknik konseling untuk memecahkan masalah, dan memperkirakan hasil konseling dalam bentuk tingkah laku klien dimasa yang akan datang.

Surya menyarankan dalam proses konseling hendaknya berhati-hati menggunakan diagnosis denganpengertian diatas: sebab dapat menimbulkan bahaya sebagai berikut:
1. Data yang terbatas atau kurang memadai, padahal kehidupan klien sangat kompleks.
2. Konselor kurang memperhatikan keadaan tingkah laku klien sekarang.
3. Terlalu cepat menggunakan test
4. Hilangnya pemahaman terhadap individualitas atau keunikan system diri klien
5. Pengaruh sikap menilai dari konselor.

2. Teknik-teknik Melakukan Konseling

Proses konseling memerlukan teknik-teknik tertentu sehinggga konseling bisa berjalan secara efektif dan efisien atau berdaya guna dan berhasil guna.berikut ini diuraikan beberapa teknik dalam konseling.
a. Teknik rapport
Teknik rapport dalam konseling merupakan suatu kondisi saling memahami dan mengenal tujuan bersama .tujuan utama teknik ini adalah untuk menjembatani hubungan antara konselor dengan klien, sikap penerimaan dan minat yang mendalam terhadap klien dan masalahnya.melalui teknik ini akan tercipta hubungan yang akrab antara konselor dan kliennya yang ditandai dengan saling memperdayai.implementasi teknik rapport dalam konseling adalah:
1. Pemberian salam yang menyenangkan,
2. Menetapkan topic pembicaraan yang sesuai.
3. Susunan ruang konseling yang menyenangkan
4. Sikap yang ditandai dengan:
a. Kehangatan emosi
b. Realisasi tujuan bersama
c. Menjamin kerahasiaan klien
d. Kesadaran terhadap hakikat klien secara alamiah.
b. Prilaku attending
Attending merupakan upaya konselor menghampiri klien yang diwujudkan dalam bentuk prilaku seperti kontak mata,bahasa tubuh,dan bahasa lisan. Prilaku attending yang baik harus mengombinasikan ketiga aspek diatas sehingga akan memudahkan konselor untuk membuat klien terlibat pembicaraan dan terbuka. Prilaku attending yang baik akan dapat:
1. Untuk meningkatkan harga diri klien.
2. Menciptakan suasana yang aman dan akrab.
3. Mempermudah ekpresi perasaan klien dengan bebas.

c. Teknik structuring
Structuring adalah proses penetapan batasan konselor tentang hakikat, batas-batas dan tujuan proses konseling pada umumnya dan hubungan tertentu pada khususnya. Ada lima macam structuring dalam konseling yaitu:
1. Batas-batas waktu baik dalam satu individu maupun seluruh proses konseling.
2. Batas-batas tindakan baik konselor maupun klien
3. Batas-batas peranan konselor
4. Batas-batas proses atau prosedur, misalnya menyangkut waktu atau jadwal, berapa lama konseling akan dilakukan dan lain sebagainya
5. Structuring dalam nilai proses, misalnya menyangkut tahapan-tahapan yang harus ditempuh (dilalui), apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama proses konseling berlangsung.

d. Empati
Empati merupakan kemampuan konselor untuk mersakan apa yang dirasakan oleh klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan bersamaan dengan attending, karena tanpa attending tidak akan ada empati. Empati ada dua macam:
1. Empati primer (primary empathy), yaitu apabila konselor hanya memahami perasaan, pikiran, keinginan dan pengalaman klien dengan tujuan agar klien terlibat pembicaraan dan terbuka
2. Empati tingkat tinggi ( advanced accurate empathy),yaitu apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran, keinginan, dan pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut.

e. Refleksi perasaan
Refleksi perasaan merupakan suatu usaha konselor untuk menyatakan dalam bentuk kata-kata yang segar dan sikap yang diperlukan terhadap klien. Refleksi perasaan juga merupakan teknik penengah yang bermanfaat untuk digunakan setelah hubungan permulaan (tahap awal konseling) dilakukan dan sebelum pemberian informasi serta tahap interprepasi dimulai. Refleksi perasaan bias berwujud positif, negative, dan anbivalen.

Refleksi perasaan akan mengalami kesulitan apabila:
1. Streotipe dari konselor.
2. Konselor tidak dapat mengatur waktu sesi konseling.
3. Konselor tidak dapat memilih perasaan mana untuk direfleksikan.
4. Konselor tidak dapat mengetahui isi perasaan yang direfleksikan.
5. Konselor tidak dapat menemukan didalam perasaan.
6. Konselor menambah arti perasaan dan,
7. Konselor menggunakan bahasa kurang tepat.
Selanjutnya, menurut surya, manfaat refleksi perasaan dalam proses konseling adalah:
1. Membantu klien untuk merasa dipahami secara mendalam,
2. Klien merasa bahwa perasaan menyebabkan tingkah laku
3. Memuasatkan evaluasi pada klien
4. Member kekuatan untuk memilih
5. Memperjelas cara berpikir klien dan,
6. Menguji kedalaman motive-motive klien

f. Teknik eksplorasi
Eksplorasi merupakan ketrampilan konselor untuk menggali perasaan, pengalaman, dan pikiran klien. Teknik ini dalam konseling sangat penting karena umumnya klien tidak ma uterus terang(tertutup, menyimpan rahasia bathin, menutup diri atau tidak mampu mengemukakannya secara terus terang. Eksplorasi memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan, dan terancam. Eksplorasi ada tiga macam:
1. Eksplorasi perasaan
2. Eksplorasi pikiran
3. Eksplorasi pengalaman.

g. Teknik paraphrasing ( menangkap pesan utama )
Untuk dapat melakukan paraphrasing yang baik, konselor harus:
1. Menggunakan kata-kata yang mudah dan sederhana
2. Dengan teliti mendengarkan pesan utama pembicaraan klien.
3. Menyatakan kembali dengan ringkas
4. Amati respon klien terhadap konselor. Dalam proses konseling paraphrasing misalnya ketika klien (ki) mengatakan: biasanya si A selalu senang dengan saya, tetapi entah kenapa dia memusuhi saya. Mendengar perkataan tersebut konselor atau ko mengatakan: apakah yang anda maksudkan adalah si A tidak konsisten.

h. Teknik bertanya
Teknik bertanya ada dua macam, yaitu bertanya terbuka (open question) dan bertanya tertutup (closed question). Pada pertanyaan terbuka, klien bebas memberikan jawabannya, sedangkan pada pertanyaan tertutup telah menggambarkan alternative jawabannya misalnya jawaban ya atau tidak, setuju atau tidak dan lain sebagainya.

i. Dorongan minimal (minimal encouragement)
Dalam proses konseling, konselor harus mengupayakan agar klien selalu terlibat dalam pembicaraan. Untuk itu konselor harus mampu memberikan dorongan minimal kepada klien, yaitu suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah dikatakan klien. Teknik ini memungkinkan klien untuk terusberbicara dan dapat mengarahkan agar pembicaraan mencapai tujuan.

j. Interpretasi
Interpretasi merupakan usaha konselor mengulas pikiran, perasaan dn prilaku atau pengalaman klien berdasarkan teori-teori tertentu. Tujuan utama teknik ini adalah untuk memberikan rujukan, pandangan atau tingkah laku klien, agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru.

k. Teknik mengarahkan (directing)
Upaya konselor mengarahkan klien dapat dilakukan dengan menyuruh klien memerankan Sesuatu (bermain peran) atau menghayalkan sesuatu.

l. Teknik menyimpulkan sementara (summarizing)
Membuat kesimpulan bersama perlu dilakukan agar klien memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa keputusan tentang dirinya menjadi tanggung jawab klien, sedangkan konselor hanya membantu. Kapan suatu pembicaraan akan disimpulkan bias ditetapkan sendiri oleh konselor atau bias tergantung kepada felling konselor.
Tujuan utama menyimpulkan sementara ( summarizing ) adalah:
1. Memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik ( feedback ) dari hal-hal yang telah dibicarakan bersama konselor.
2. Untuk menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap.
3. Untuk meningkatkan kualitas kemampuan diri
4. Mempertajam atau memperjelas focus atau arah wawancara konseling.

m. Teknik-teknik memimpin
Agar wawancara konseling tidak menyimpang ( pembicaraan terfokus pada masalah yang dibicarakan ) konselor harus mampu memimpin arah pembicaraan sehingga tujuan konseling bisa tercapai secara efektif dan efisien.

n. Teknik focus
Konselor yang efektif harus mampu membuat focus melalui perhatiannya yang terseleksi terhadap pembicaraan dengan klien ( wawancara konseling ).

o. Teknik konfrontasi
Teknik ini dalam konseling dikenal juga dengan “ memperhadapkan “. Teknik konfrontasi adalah suatu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya inkonsistensi ( tidak konsisten ) antara perkataan dengan perbuatan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan. Misalnya klien menceritakan hal-hal yang sedih tetapi sambil tertawa dan tersenyum gembira.

p. Menjernihkan ( clarifying )
Dalam konseling, teknik dilakukan oleh konselor dengan mengklarifikasi ucapan-ucapan klien yang tidak jelas, salah samar, atau agak meragukan. Tujuan teknik ini adalah :
1. Mengundang klien untuk menyatakan pesannya secara jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dengan alasan-alasan yang logis
2. Agar klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya. Dalam konseling, misalnya klien mengatakan: “konflik yang terjadi dirumah membuat saya bingung dan stres “. Saya tidak mengerti siapa yang menjadi pemimpin dirumah itu. Selanjutnya konselor mengatakan “ biasakah anda menjelaskan persoalan pokoknya ? misalnya peran ayah, peran ibu, atau saudara-saudara anda.

q. Memudahkan ( facilitating ).
Facilitating adalah suatu teknik membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas.

r. Diam sebagai suatu teknik
Diam dalam konseling bisa dijadikan suatu teknik. Dalam konseling, diam bukan berarti tidak ada komunikasi. Komunikasi tetap ada, yaitu melalui prilaku nonverbal. Diam amat penting pada saat attending. Saat diam yang ideal dalam proses konseling adalah antara 5-10 detik.

s. Mengambil inisiatif
Penagmbilan inisiatif perlu dilakukan oleh konselor ketika klien kurang bersemangat untuk berbicara, lebih sering diam, dan kurang partisipatif. Konselor mengucapkan kata-kata yang mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi.

t. Memberi nasihat
Dalam konseling, pemberian nasihat sebaiknya dilakukan apabila klien memintanya. Meskipun demikian, konselor tetap harus mempertimbangkanya, apakah pantas atau tidak memberikan nasihat.


u. Pemberian informasi
Apabila konselor tidak mengetahui suatu informasi, sedangkan klien memintanya, maka konselor harus secara jujur mengatakan tidak mengetahuinya. Sebaliknya apabila konselor mengetahui, sebaiknya diupayakan agar klien tetap mengusahakannya sendiri.

v. Merencanakan
Menjelang akhir sesi konseling, konselor harus membantu klien untuk dapat membuat rencana suatu program untuk action (melakukan tindakan sesuatu) guna memecahkan masalah yang dihadapinya.

w. Menyimpulkan
Pada akhir sesi konseling, bersama klien konselor membuet suatu kesimpulkan. Atau konselor membantu klien membuat suatu kesimpulan yang menyangkut hal:
1. Bagaimana keadaan perasaan klien saat ini terutama menyangkut kecemasannya akibat masalah yang dihadapinya.
2. Memantapkan rencana klien.
3. Pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya pada sesi berikut. Misalnya, menjelang waktu akan berakhir, konselor mengatakan:” apakah sudah dapat kita buat kesimpulan akhir pembicaraan kita ?

x. Teknik mengakhiri (menutup sesi konseling)
Mengakhiri sesi konseling merupakan suatu teknik dalam proses konseling. Untuk mengakhiri sesi konseling, dapat dilakukan konselor dengan cara:
1. Mengatakan waktu sudah habis.
2. Merangkum isi pembicaraan.
3. Menunjukan kepada pertemuan yang akan datang
4. Mengajak klien berdiri dengan isyarat gerak tangan.
5. Menunjukan catatan-catatan singkat hasil pembicaraan konseling.
6. Memberikan tugas-tugas tertentu kepada klien yang relevan dengan pokok pembicaraan apabila diperlukan.






DAFTAR PUSTAKA
Drs. Tohirin, Mpd, bimbingan konseling di sekolah dan di madrasah, PT grafindo persada, Jakarta, 2002
Fatchiah E. kertamuda, konseling pernikahan untuk keluarga, salemba humanika, 2009
Dr. fenti hikmawati, M.si, bimbingan konseling, PT raja grafindo persada. Jakarta 2010
Andi mappiare AT, pengantar konseling dan psikoterapi, PT raja grafindo persada, Jakarta 2008

Penambahan:Isu Bimbingan Konseling


Penambahan:Isu Bimbingan Konseling

ISU BIMBINGAN KONSELING
Dari : Ummu Hani dan Yasmiati BPI
Karakteristik Klien
A.Memahami Klien
Seseorang konselor memahami setiap klien yang datang kepadanya. Karena ada klien yang datang dengan kemauan sendiri dan ada juga yang datang karena dikirim oleh orang tua atau gurunya. Harapan, kebutuhan, latar belakang klien akan menentukan terhadap keberhasilan proses konseling. Keberhasilan dan kegagalan proses konseling ditentukan oleh tiga hal yaitu: 1) Kepribadian klien 2) Harapan klien 3) Pengalaman/pendidikan
1) Kepribadian Klien
Aspek-aspek kepribadian klien adalah sikap, emosi, intelektual, motivasi dan sebagainya. Seseorang konselor yang efektif akan mengungkapkan perasaan-perasaan cemas klien semaksimal mungkin dengan cara menggali atau eksplorasi sehingga keluar leluasa. Jika perasaan – perasaan klien sudah dikeluarkan dengan leluasa baik secara verbal maupun perilaku non verbal dengan jujur maka kecemasan klien akan menurun. Maka apabila pikirannya menjadi jernih baru konselor dapat menemukan intelektual klien karena ketika dalam keadaan sedih atau emosional yang negatif, sudah tentu klien akan gelap pikirannya.
Sebagai konselor, klien juga dilatarbelakangi oleh sikap, nilai-nilai, pengalaman, perasaan, budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya. Semua itu membentuk pribadinya. Ketika proses konseling latar belakang itu akan muncul. Contohnya sikap, ada klien yang tidak terbuka, ada yang terlalu emosional, ada yang acuh tak acuh, terlalu bergnatung pada klien dan sebagainya. Ragam keadaan klien bukan berarti konselor bertputus asa, akan tetapi seharusnya belajar lebih banyak bagaimana cara mengantisipasinya.
2) Harapan Klien
Pada umumnya harapan klien terhadap proses konseling adalah untuk memperoleh informasi, menurunkan kecemasan, memperoleh jawaban atau jalan keluar dari persoalan yang dialami, dan mencari upaya bagaimana dirinya supaya lebih baik, lebih berkembang. Sering terjadi bahwa klien menaruh harapan terlalu tinggi terhadap proses konseling. Bisa juga seseorang klien akan merasa kecewa dan berputus asa untuk mengikuti proses konseling karena terlalu memberi harapan yang tinggi.
Seseorang konselor perlu mengkaji latar belakang harapan klien,adakah harapan tersebut muncul dalam diri klien atau dari faktor luaran (harapan luar). Tanpa keterbukaan dan keterlibatan klien, proses konseling tidak mungkin terjadi diskusi yang mendalam mengenai harapan-harapan dan cita-cita klien.

3) Pengalaman dan Pendidikan Klien

Pengalaman dan pendidikan klien akan mudah untuk dirinya menggali dirinya sehingga persoalannya semakin jelas dan upaya pemecahannya makin terarah. Pengalaman yang dimaksudkan adalah pengalaman konseling, wawancara, berkomunikasi, berdiskusi dan sebagainya. Namun jika bertemu klien yang kecanduan bicara (senang untuk berbicara namun tidak ada keinginan untuk berubah), maka sebaiknya dielakkan.

Pengalaman dan pendidikan yang baik pada umumnya memudahkan proses konseling. Makin rendah taraf pendidikan dan kurangnya pengalaman berkomunikasi, makin sulit proses konseling dilakukan. Faktor keluarga dan sekolah yang baik akan membina anak yang begitu kondusif untuk kebebasan berpendapat dan berpikir kreatif.

B. Aneka Ragam Klien
Berbagai jenis atau ragam klien yang akan dihadapi konselor:
i) Klien Sukarela
Klien sukarela artinya klien yang hadir di ruang konseling atas kesadaran sendiri, berhubung ada maksud dan tujuannya. Mungkin ia ingin memperoleh informasi, menginginkan penjelasan tentang persoalan yang dihadapinya, tentang karir dan lanjutan studi, dan sebagainya.

ii) Klien terpaksa adalah klien yang kehadirannya di ruang konseling bukan atas kehendaknya sendiri. Dia datang atas dorongan orang tua, wali kelas, teman, dan sebagainya. Karakteristik klien terpaksa adalah bersifat tertutup, enggan berbicara, curiga terhadap konselor, kurang bersahabat dan menolak secara halus bantuan konselor.

iii) Klien Enggan

Salah satu bentuk klien enggan adalah yang banyak berbicara. Pada prinsipnya klien seperti ini enggan dibantu. Dia hanya senang untuk berbincang-bincang dengan konselor, tanpa ingin menyelesaikan masalahnya.
Upaya yang bisa dilakukan adalah menyadarkan kekeliruannya, memberi kesempatan adar dia dibimbing oleh orang lain.

iv) Klien Bermusuhan / Menentang
Klien terpaksa yang bermasalah cukup serius, bisa menjelma menjadi klien bermusuhan. Sifat-sifatnya adalah: tertutup, menentang, bermusuhan dan menolak secara terbuka.

Cara-cara efektif menghadapi klien seperti ini adalah
1. Ramah, bersahabat, dan empati
2. Toleransi terhadap perilaku klien yang nampak
3. Tingkatkan kesabaran
4. Memahami keinginan klien yaitu tidak sudi dibimbing.
5. Mengajak atau negosiasi

v) Klien Krisis
Yang dimaksudkan klien krisis adalah jika seseorang menghadapi musibah, seperti kematian, kebakaran rumah, diperkosa dan sebagainya yang dihadapkan kepada konselor untuk member bantuan agar si dia menjadi stabil dan mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang baru.
Tujuan untuk membantu yang mengalami kesedihan mendalam adalah:
- Agar klien dapat menerima kesedihannya secara wajar
- Agar klien dapat mengekspresikan segala kesedihannya
- Membentuk lagi lingkungan yang baru


C. Negosiasi Dalam Konseling

Untuk menghadapi klien terpaksa, dan enggan perlu diadakan negosiasi sebelum konseling.
Syarat-syarat untuk dapat melaksanakan negosiasi dengan baik adalah:
1) Kecerdasan dan wawasan yang luas
2) Keterampilan berbicara dan komunikasi yang menghargai
3) Bersikap ramah, murah senyuman, sopan, cermat, dan empati
4) Mempunyai informasi mengenai klien
5) Tidak membosankan, tidak memaksa, dan tidak mengecewakan orang lain.
Negosasi dalam konseling adalah dalam upaya untuk membujuk agar calon klien kita merasa aman, senang dan mau diajak bicara tentang dirinya.

Pengertian kesehatan mental dan konsep sehat


Pengertian kesehatan mental dan konsep sehat

Pengertian Kesehatan Mental
Menurut Dr. Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa:
“Kesehatan mental merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan)”.
Sedangkan menurut paham ilmu kedokteran, kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Zakiah Daradjat mendefenisikan bahwa mental yang sehat adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Jika mental sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi, penyesuaian dan identifikasi positif terhadap orang lain. Dalam hal ini, individu belajar menerima tanggung jawab, menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah laku.




Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya adalah terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya kemampuan untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan kebahagiaan dan kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat, bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya.
Golongan yang kurang sehat mentalnya
Golongan yang kurang sehat adalah orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya. Adanya abnormalitas mental ini biasanya disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga muncul konflik mental pada dirinya . Gejala-gejala umum yang kurang sehat mentalnya, yakni dapat dilihat dalam beberapa segi, antara lain:
Perasaan
Orang yang kurang sehat mentalnya akan selalu merasa gelisah karena kurang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.




Pikiran
Orang yang kurang sehat mentalnya akan mempengaruhi pikirannya, sehingga ia merasa kurang mampu melanjutkan sesutu yang telah direncanakan sebelumnya, seperti tidak dapat berkonsentrasi dalam melakukan sesuatu pekerjan, pemalas, pelupa, apatis dan sebgainya.
Kelakuan
Pada umumnya orang yang kurang sehat mentalnya akan tampak pada kelakuan-kelakuannya yang tidak baik, seperti keras kepala, suka berdusta, mencuri, menyeleweng, menyiksa orang lain, dan segala yang bersifat negatif.
Dari penjelasan tersebut di atas, maka dalam hal ini tentunya pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan kepribadian secara keseluruhan. Pembinaan mental secara efektif dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Pembinaan yang dilakukan meliputi pembinaan moral, pembentukan sikap dan mental yang pada umumnya dilakukan sejak anak masih kecil. Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Agar anak mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji, semuanya dapat diusahakan melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya dan akan ikut menentukan pembinaan pribadinya. Pembinaan mental/jiwa merupakan tumpuan perhatian pertama dalam misi Islam. Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam telah mengajarkan bahwa pembinaan jiwa harus lebih diutamakan daripada pembinaan fisik atau pembinaan pada aspek-aspek lain, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada gilirannya akan menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia lahir dan batin .
Istilah "KESEHATAN MENTAL" di ambil dari konsep mental hygiene. Kata mental di ambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa latin yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai kesehatan mental atau jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya usaha peningkatan. (Notosoedirjo & Latipun,2001:21).
Zakiah Daradjat(1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian :
1. Terhindarnya orang dari gejala - gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala - gejala penyakit jiwa(psychose).
2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup.
3. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagian diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan - gangguan dan penyakit jiwa.



4. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh - sungguh antara fungsi - fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem - problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagian dan kemampuan dirinya.

Zakiah Daradjat
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa
(neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini
banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang
manusia dari sudut sehat atau sakitnya.
2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat
ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada
definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial
secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan
menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguhsungguh
antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk
menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari
kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan
bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan
keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga
menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat raguragu
dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.

4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk
mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang
ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri
dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguhsungguh
antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian
diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan
keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang
bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental,

Zakiah Daradjat mengemukakan, kesehatan mental adalah terhindar seseorang
dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup
menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya
keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya
berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada
padanya seoptimal mungkin.










Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda .

Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis, namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental dan sebaliknya gangguan mental dapat pesatnya namun apabila ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Hal ini jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama, bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi, hal ini sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon Politicon .

C.Gangguan Mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran Adapun gangguan mental yang dijelaskan.




Konsep Sehat

Sehat dan sakit adalah keadaan biopsikososial yang menyatu dengan kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap kedua konsep ini kemungkinan bersamaan dengan pengenalannya terhadap kondisi dirinya. Keadaan sehat dan sakit tersebut terus terjadi, dan manusia akan memerankan sebagai orang yang sehat atau sakit.
Konsep sehat dan sakit merupakan bahasa kita sehari-hari, terjadi sepanjang sejarah manusia, dan dikenal di semua kebudayaan. Meskipun demikian untuk menentukan batasan-batasan secara eksak tidaklah mudah. Kesamaan atau kesepakatan pemahaman tentang sehat dan sakit secara universal adalah sangat sulit dicapai.
Pengertian
Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat kita rasakan dan diamati keadaannya. Misalnya, orang tidak memiliki keluhankeluahan fisik dipandang sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa orang yang “gemuk” adalah otrang yang sehat, dan sebagainya. Jadi faktor subyektifitas dan kultural juga mempengaruhi pemahaman dan pengertian orang terhadap konsep sehat.
Sebagai satu acuan untuk memahami konsep “sehat”, World Health Organization (WHO) merumuskan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurnan baik fisik[2], mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Dalam definisi ini, sehat bukan sekedar terbebas dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun tentunya belum tentu dikatakan sehat. Dia semestinya dalam keadaan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial.

Pengertian sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan suatau keadaan ideal, dari sisi biologis, psiologis, dan sosial. Kalau demikian adanya, apakah ada seseorang yang berada dalam kondisi sempurna secara biopsikososial? Untuk mendpat orang yang berada dalam kondisi kesehatan yang sempurna itu sulit sekali, namun yang mendekati pada kondisi ideal tersebut ada.[3]
Dalam kaitan dengan konsepsi WHO tersebut, maka dalam perkembangan kepribadian seseorang itu mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama, organobiologik, psiko-edukatif dan sosial budaya.Keempat dimensi holistik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.Agama/spiritual, yang merupakan fitrah manusia. Ini merupakan fitrah manusia yang menjadi kebutuhan dasar manusia (basic spiritual needs), mengandung nilai-nilai moral, etika dan hukum. Atau dengan kata lain seseorang yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seseorang yang bermoral dan beretika berarti ia beragama (no religion without moral, no moral without law).
b.Organo-biologik, mengandung arti fisik (tubuh/jasmani) termasuk susunan syaraf pusat (otak), yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit, yang kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi, dan setrusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut .
c.Psiko-edukatif, adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua (ayah dan ibu) termasuk pendidikan agama. Orang tua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orang tuanya. Perkembangan kepribadian anak melalui dimensi psiko-edukatif ini berhenti hingga usia 18 tahun.

d.Sosial-budaya, selain dimensi psiko-edukatif di atas kepribadian seseorang juga dipengaruhi oleh kultur budaya dari lingkungan sosial yang bersangkutan dibesarkan.

BK Sebagai Helping Profesional


BK Sebagai Helping Profesional

BIMBINGAN KONSELING SEBAGAI HELPING PROFESIONAL

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Pengertian Bimbingan
Bimbingan dan konseling berasal dari dua kata yaitu bimbingan dan konseling. Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang didalamnya terkandung beberapa makna. Sertzer & amp; Stone (1966:3) menemukan bahwa guidance berasal kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Jadi, kata “guidance” berarti pemberian petunjuk, pemberian bimbingan atau tuntunan kepada orang lain yang membutuhkan.
Bimbingan merupakan pemberian pertolongan atau bantuan. Bantuan atau pertolongan itu merupakan hal yang pokok dalam bimbingan. Sekalipun bimbingan itu merupakan pertolongan, namun tidak semua pertolongan dapat disebut sebagai bimbingan. Orang dapat memberikan pertolongan kepada anak yang jatuh agar bangkit, tetapi ini bukan merupakan bimbingan. Pertolongan yang merupakan bimbingan mempunyai sifat-sifat lain yang harus dipenuhi. Jadi, bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu untuk menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya, sehingga individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.

Pengertian Konseling
Konseling (counseling), kadang disebut penyuluhan, adalah suatu bentuk bantuan. Konseling merupakan suatu proses pelayanan yang melibatkan kemampuan profesional pada pemberi layanan. Ia sekurangnya melibatkan pula orang kedua, penerima layanan, yaitu orang yang sebelumnya merasa ataupun nyata-nyata tidak dapat berbuat banyak dan setelah mendapat layanan menjadi dapat melakukan sesuatu.
Konseling sebagai salah satu upaya profesional adalah berdimensi banyak. Jika dilihat latar belakangnya, konseling muncul karena adanya sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab individu dan untuk itu perlu bantuan profesional. Jika dilihat eksistensinya, konseling merupakan salah satu bantuan profesional yang sejajar dengan psikiatris, psikoterapi, kedokteran, dan penyuluhan sosial. Dilihat kedudukannya dalam proses keseluruhan bimbingan, guidance, konseling merupakan bagian integral, atau teknik andalan, bimbingan, dan disini orang lazim menggabungkannya menjadi ”Bimbingan dan Konseling”.

B. Bimbingan Konseling sebagai Helping Profesional
Profession konseling itu sendiri memerlukan seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menolong orang lain dan sifat positif terhadap klien sebagai manusia yang mempunyai nilai-nilai. Ia haruslah orang yang mempunyai rasa tanggung jawab yang besar, kesanggupan mengontrol diri, keseimbangan emosi, nilai-nilai yang teratur tanpa kekakuan, kesadaran bahwa mungkin nilai-nilainya berbeda dengan nilai-nilai orang lain, oleh sebab itu adalah hak untuk setiap orang memegang nilai-nilainya sendiri, pengertian mendalam akan masalah-masalah dan hakikat motivasinya, kesungguhan dan kemampuan menahan berbagai tekanan, kemampuan melakukan terapi yang sesuai, termasuk kemampuan mengadakan hubungan profesional dengan klien. Juga latar belakang pendidikan yang luas, perhatian sungguh-sungguh terhadap psikologi, terutama cabang-cabang yang menyentuh aspek terapi.
Juga konselor perlu mengkaji dengan mendalam berbagai cabang psikologi seperti: psikologi perbedaan-perseorangan, psikologi perkembangan, pendidikan, kepribadian, psikologi motivasi, dan psikologi sosial, perlu juga ia mengkaji budaya di mana ia berada dari segi unsur-unsur, masalah-masalah dan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan seseorang dalam budaya tersebut.
Di samping itu ia juga perlu mengkaji tentang konseling sebagai suatu cabang psikologi, teori-teorinya, dan metode-metodenya, dan yang paling penting lagi ia mengamalkan konseling di bawah bimbingan ahli-ahli konseling yang berpengalaman. Inilah sebagian keperluan akademik dan profesional yang diperlukan oleh seseorang yang ingin bekerja menjadi seorang konselor.
Amat banyak hubungan antar manusia yang mengandung unsur-unsur pemberian bantuan. Ini memang diperlukan karena berbagai kondisi dilematis, konflik ataupun krisis yang dialami individu dan perlu bantuan segera. Akan tetapi, atas sifat dan ciri-cirinya, tidak semua pemberian bantuan dapat disebut profesional. Sebagiannya memang profesional, sebagiannya dapat disebut para profesional, dan sebagian lainnya lagi disebut nonprofesional.
Upaya pemberian bantuan, selanjutnya disebut helping, yang dibicarakan di sini, adalah yang profesional sifatnya. Menurut McCully, suatu profesi helping dimaknakan sebagai adanya seseorang, didasarkan pengetahuan khasnya, menerapkan suatu teknik intelektual dalam suatu pertemuan khusus (exsistential affairs) dengan orang lain dengan maksud agar orang lain tadi memungkinkan lebih efektif menghadapi dilema-dilema, pertentangan, yang merupakan ciri khas kondisi manusia.
Suatu hubungan helping ditandai oleh ciri-ciri dasar tertentu. Pandangan Bruce Shertzer dan dan Shally C. Stone, yang diadaptasikan di sini mengenai ciri-ciri hubungan helping, adalah:
1. Hubungan helping adalah penuh makna, bermanfaat.
2. Afeksi sangat mencolok dalam hubungan helping.
3. Keutuhan pribadi tampil atau terjadi dalam hubungan helping.
4. Hubungan helping terbentuk melalui kesepakatan bersama individu-individu yang terlibat.
5. Saling menjalin hubungan karena individu yang hendak dibantu membutuhkan informasi, pelajaran, advis, bantuan, pemahaman dan/atau perawatan dari orang lain.
6. Hubungan helping dilangsungkan melalui komunikasi dan interaksi.
7. Struktur hubungan helping adalah jelas atau gamblang.
8. Upaya-upaya yang bersifat kerja sama (collaborative) menandai hubungan helping.
9. Orang-orang dalam helping (helper) dapat dengan mudah ditemui atau didekati (approachable) dan terjamin ajeg (konsisten) sebagai pribadi.
10. Perubahan merupakan tujuan hubungan helping.

Konseling pada dasarnya merupakan suatu hubungan helping, helping relationship. Setelah mengemukakan jenis-jenis konselor menurut bidang kerja, Sheldon Eisenberg dan Daniel J. Delaney menyebutkan bahwa para kaum profesional dalam bidang-bidang ini (konseling) menganggap diri sebagai helper. Mereka menganggap diri hadir untuk menyediakan layanan helping bagi orang-orang yang ingin atau butuh bantuan.
Para konselor dan/atau para calon konselor agaknya cukup senang dengan ungkapan Lawrence M. Brammer tentang kemungkinan mereka mampu memerankan profesi helping. Brammer mengungkapkan bahwa banyak orang yang mempunyai daya-mampu alamiah, natural, untuk membantu dengan baik karena pengalaman hidupnya yang menguntungkan. Mereka memiliki daya-mampu intelektual untuk memahami dan memperhatikan ciri-ciri helping secara alamiah sehingga lebih dapat menolong orang lain dengan baik. Di dalam helping profesional pribadi konselor merupakan ”instrumen” menentukan bagi adanya hasil-hasil positif konseling. Kondisi ini akan di dukung oleh keterampilan konselor mewujudkan sikap dasar dalam berkomunikasi dengan klien. Dapat dijelaskan sebagai berikut :
I. Konselor sebagai Pribadi
Untuk dapat melaksanakan peranan profesional yang unik sebagaimana tuntutan profesi di atas, konselor profesional harus memiliki pribadi yang berbeda dengan pribadi-pribadi yang bertugas membantu lainnya. Konselor dituntut memiliki pribadi yang lebih mampu menunjang keefektifan konseling. Jadi keberhasilan dalam konseling lebih bergantung pada kualitas pribadi konselor dibandingkan kecermatan teknik. Mengenai ini Leona E. Tyler menyatakan ”pribadi konselor yang amat penting mendukung efektifitas peranannya adalah pribadi yang altruistis, rela berkorban untuk kepentingan orang lain yaitu kepentingan konseli. Dan dijelaskan oleh John J. Pietrofesa, dkk, bahwa para helper mendayagunakan diri mereka sendiri dan mementingkan kemanusiaan dalam pekerjaannya.
Selain itu seorang konselor sebagai fasilitative person perlu memiliki keterampilan-keterampilan lewat latihan dan didikan karena keterampilan kekonseloran akan meningkatkan kualitas pribadi mereka pada taraf yang lebih tinggi, akan tetapi, jelas bahwa pribadi para konselor merupakan alat yang sangat penting sekali dalam hubungan helping.
Adapun pokok-pokok kekhasan pribadi para helper pada umumnya berdasarkan sifat hubungan helping, menurut Brammer, adalah:
!. Awareness of Self and Values (Kesadaran Akan Diri dan Nilai-nilai)
Para helper memerlukan suatu kesadaran tentang posisi-posisi nilai mereka sendiri. Mereka harus mampu menjawab dengan jelas pertanyaan-pertanyaan, siapakah saya? Apakah yang penting bagi saya? Apakah signifikansi sosial dari apa yang saya lakukan? Mengapa saya mau menjadi seorang helper? Kesadaran ini membantu para helper membentuk kejujuran terhadap dirinya sendiri dan terhadap helpi mereka dan juga membantu para helper menghindari memperalat secara tak bertanggung jawab atau tak etis terhadap para helpi bagi kepentingan pemuasan kebutuhan diri-pribadi para helper sendiri.

2. Awareness of Cultural Experience (Kesadaran Akan Pengalaman Budaya)
Helper dituntut mengetahui lebih banyak lagi tentang budaya para helpi. Mengetahui lebih banyak perbedaan antara para helper dan para helpi merupakan hal sangat vital bagi keefektifan hubungan helping. Kelompok orang-orang tertentu seperti para tahanan, pemabuk, kanak-kanak, orang jompo, janda/duda, penyandang cacat-fisik atau mental, siswa-siswa miskin, pria atau wanita, dan semacamnya, sangat mungkin memiliki pengalaman hidup yang sangat berlainan dengan para helper mereka. Para helper profesinal hendaknya mempelajari ciri-khas budaya dan kebiasaan tiap kelompok helpi mereka.

3. Ability to Analyze the Helper’s Own Feeling (Kemampuan Menganalisis Kemampuan Helper Sendiri)
Para helper harus mampu ”menyelami” perasaan-perasaan mereka sendiri, memahami dan menerima perasaan-perasaan mereka. Tidak menggantungkan harapan-harapan sukses terlalu tinggi dan berdiskusi sesama kolega dapat membantu meredakan perasaan-perasan negatif.

4. Ability to Serve as Model and Influencer (Kemampuan Berlayan Sebagai ”Teladan” dan ”Pemimipin” atau Orang ”Berpengaruh”)
Kemampuan para helper sebagai ”pemimpin” atau orang ”berpengaruh”, dan sebagai ”teladan” diperlukan pula dalam proses helping. Meskipun ini tidak berarti bahwa para helper harus menguasai para helpi mereka, para helper harus dapat menunjukkan kemampuan melihat inti masalah dengan tajam dan cepat dan mempunyai rasa percaya diri yang mapan.

5. Altruism
Pribadi yang altruistis ditandai kesediaan berkorban (waktu, tenaga, dan mungkin materi) untuk kepentingan kebahagiaan atau kesenangan orang lain. Dengan kata lain kepuasan para helper diperoleh melalui pemberian peluang memuaskan orang-orang lain.

6. Strong Sense of Ethics (Penghayatan Etik yang Kuat)
Kelompok helper profesional, seperti konselor, memiliki kode etik untuk dipahami dan dipakai serta dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat terhadap mereka.

7. Responsibility (Tanggung Jawab)
Para helper yang bertanggung jawab menyadari keterbatasan-keterbatasan mereka, sehingga tidak mencanangkan hasil-hasil (tujuan) yang tidak realistis. Mereka akan mengupayakan referal kepada spesialis ketika mereka menyadari keterbatasan diri mereka dan tetap kontak dengan para helpi mereka sampai spesilalis lain itu mengambil tanggung jawab dalam suatu hubungan baru dengan klien. Begitu pula, ketika secara pasti para helper kompeten menangani kasus, mereka tidak membiarkan kasus-kasus para helpi terkatung-katung tanpa penyelesaian.

2. Sikap dan Keterampilan Konselor
• Sikap dasar Konselor
1. Penerimaan
Penerimaan di sini ialah seorang konselor menerima setiap individu klien yang datang padanya, dalam konseling, tanpa menilai aspek-aspek pribadinya yang ”lemah” ataupun yang ”kuat”. Dengan kata lain, konselor mempunyai penerimaan ”apa adanya”, tidak mengandung kesetujuan atau ketaksetujuan terhadap aspek-aspek pribadi individu.
2. Pemahaman
Pemahaman, understanding, berhubungan erat dengan empati. Barrett-Lennard (1959), dan Delaney dan Eisenberg (1972), menggabungkan pernyataan itu menjadi satu, yaitu Empathic-understanding. Keduanya merupakan sikap dasar konselor yang menunjuk pada kecenderungan konselor menyelami tingkah laku, fikiran, dan perasaan klien sedalam mungkin yang dapat dicapai oleh konselor.
3. Kesejatian dan Keterbukaan
Pietrofesa, dkk, maupun Arthur J. Jones, dkk, menegaskan bahwa kesejatian atau ketulusan konselor itu penting sebab klien sudah terbiasa (bosan) dengan kebohongan, keakjujuran, dan ”sandiwara” dalam kehidupan sehari-hari. Ketika klien sedang berhadapan dengan konselor dan menemukan kesejatian maka seorang klien dengan sendirinya akan menemukan suasana meyakinkan untuk pegungkapkan masalah, kerisauan, concerns, secara terbuka, mengiringi keterbukaan konselor.

• Keterampilan dasar Konselor
1. Kompetensi Intelektual
Jelas bahwa keterampilan-keterampilan konselor dilandasi oleh pengetahuan siap pakai mengenai tingkah laku manusia, pemikiran yang cerdas, dan kemampuan mengintegrasikan peristiwa yang dihadapi dengan pendidikan dan pengalamannya. Kompetensi komunikasi merupakan sebagian dari kompetensi intelektual konselor. Oleh karena itu konseling, terutama latar interview, sangat bergantung pada komunikasi yang jelas, maka kunci penting keefektifan konseling adalah kompetensi komunikasi.

2. Kelincahan Karsa-cipta
Di dalam memilih dengan cepat dan tepat respon yang bijak, sangat dperlukan kelincahan karsa-cipta seorang konselor tersebut. Kelincahan ini terutama sekali sangat terasa pentingnya di saat interview konseling dimana klien mengemukakan pernyataan-pernyataan verbal atau nonverbal.mulai sejak penerimaan klien, penyiapan interview, penyusunan model konseren/masalah klien, penentuan tujuan dan tujuan khusus, penentuan dan pelaksanaan strategi, sampai pada evaluasi untuk kerja konselor dan klien, penuh dengan proses pengambilan keputusan dan penetapan tindakan. Kebanyakan dari hal ini menuntut kesegeraan dan kelincahan karsa-cipta konselor.
3. Pengembangan Keakraban
Keterampilan lain, namun merupakan syarat yang sangat pokok guna tercipta dan terbina saling-hubungan harmoni antara klien dan konselor, adalah pengembangan keakraban (rapport). Istilah ”pengembangan”, di sini, mencakup menciptakan, pemantapan, dan pelanggengan keakraban selama konseling.
Jika sudah terjalin keakraban yang baik antara konselor dan klien, maka klien akan berbicara secara bebas mengenai dirinya sendiri dan masalah-masalah sesungguhnya yang dialaminya. Jika keakraban itu berhasil dimantapkan dan dipelihara, maka konselor dapat mengembangkan komunikasi dengan berbagai teknik tersedia.

3. Keefektifan Konselor
Kualitas pribadi, sikap dasar, dan keterampilan konselor seperti dibahas di muka merupakan sebagian prasyarat keefektifan konselor. Hal-hal itu merupakan kualitas konselor yang lebih khusus dalam berhubungan atau bekerja dengan klien. Keefektifan konselor tersebut sifatnya lebih luas yaitu mencakup kualitas pribadi, sikap dan persepsi terhadap klien, orang lain, lingkungan, ilmu pengetahuan, profesi, dan bahkan persepsi terhadap diri sendiri.

Kualifikasi dan Kegiatan Profesional seorang Konselor
Kualifikasi
1. Sikap, keterampilan, pengetahuan
• Agar dapat memahami orang lain dengan sebaik-baiknya Konselor harus terus-menerus berusaha menguasai dirinya. Ia harus mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain yang mengakibatkan rendahnya mutu layanan profesional serta merugikan kliennya.
• Dalam melakukan tugasnya membantu klien, konselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, sadar diri dan tidak boleh dogmatis. Disamping itu, konselor harus jujur, tertib, hormat, dan percaya pada paham hidup sehat.
• Ia harus memiliki sikap tanggung jawab terhadap lembaga dan individu yang dilayani, maupun terhadap ikatan profesinya.
• Konselor harus bersikap terbuka terhadap saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya, khususny adari rekan-rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional sebagaimana diatur dalam kode etiknya.
• Dalam menjalankan tugas-tugas layanannya, konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin, untuk itu ia harus terampil menggunakan teknik-teknik dan prosedur-prosedur khusus ynag dikembangkan atas dasar ilmiah.
• Untuk melakukan pekerjaan konselor dengan kewenangan penuh diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang hakikat dan tingkah laku orang, tentang teknik dan prosedur layanan bimbingan dan pengetahuan-pengetahuan penunjang yang lain. Penguasaan dalam pengetahuan tersebut memerlukan pendidikan lengkap tingkat sarjana di bawah pembinaan ahli.
2. Pengakuan Kewenangan
• Untuk dapat bekerj asebagai konselor atau guru pembimbing diperlukan pengakuan keahlian kewenangan oleh badan khusus yang dibentuk oleh IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia) atas dasar wewenang yang diberikan kepada badan tersebut oleh pemerintah.

Kegiatan Profesional
1. Penyimpanan dan penggunaan informasi, seperti :
• Catatan-catatan tentang diri klien yang meliputi data hasil wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman, dan data lain, semuanya merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan klien. Data tersebut dapat digunakan untuk keperluan riset atau pendidikan calon konselor, asalkan identitas klien dirahasiakan
• Penyampaian informasi mengenai klien kepada keluarga atau kepada anggota profesi lain membutuhkan persetujuan klien. Pengguanan informasi dengan anggota profesi yang sama atau yang lain dapat dibenarkan, asalakan untuk kepentingan klien.
• Keterangan mengenai bahan profesional hanya boleh diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya.
• Adalah kewajiban konselor untuk memegang rahasia klien. Kewajiban ini tetap berlaku, walaupun dia tidak lagi menangani klien atau tidak lagi berdinas sebagai konselor.

2. Testing
• Testing iperlukan bila dibutuhkan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang menuntut adanya perbandingan dengan sampel yang lebih luas, misalnya taraf inteligensi, minat, bakat khusus, kecenderungan dalam pribadi seseorang.
• Data yang diperoleh dari hasil testing itu harus diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau dari sumber lain.
• Konselor harus memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa hubungannya dengan masalahnya. Hasilnya harus disampaikan kepada klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya.

3. Riset
• Dalam melakukan riset harus dihindari hal-hal yang dapat merugikan subjek yang bersangkutan.
• Dalam melaporkan hasil riset dijaga agar identitas subjek dirahasiakan.

4. Layanan Individual, hubungan dengan klien:
• Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas, dan keyakinan klien.
• Konselor harus menempatkan kepentingan kliennya di atas kepentingan pribadinya.
• Dalam menjalankan tugasnya konselor tidak membedakan suku, bangsa, warna kulit, kepercayaan, atau status sosial ekonomi.

5. Konsultasi dan hubungan dengan rekan atau ahli lain
• Dalam rangka pemberian layanan kepada seorang klien, kalau konselor merasa ragu-ragu tentang sesuatu hal, maka ia harus berkonsultasi dengan rekan-rekan selingkungan profesi. Akan tetapi untuk itu ia mendapat izin terlebih dahulu dari kliennya.
• Konselor harus mengakhiri hubungan konseling dengan seorang klien bila pada akhirnya dia menyadari tidak dapat memberikan pertolongan kepada klien tersebut, baik karena kurangnya kemampuan/keahlian atau keterbatasan pribadinya. Dalam hal ini konselor akan mengizinkan klien berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang lebih ahli, atau ia akan mengirimkannya kepada orang atau badan ahli tersebut, tetapi harus atas persetujuan klien.
• Bila pengiriman ke ahli lain disetujui klien, maka menjadi tanggung jawab konselor untuk menyarankan kepada klien orang atau badan yang mempunyai keahlian penuh.
• Bila konselor berpendapat klien perlu dikirim ke ahli yang disarankan oleh konselor maka konselor mempertimbangkan apa baik buruknya kalau hubungan mau diteruskan lagi.

Akhirnya perlu ditegaskan bahwa salah satu kunci pokok keefektifan konselor adalah adanya suatu sistem untuk mengorganisasikan dan membimbing tingkah laku dalam proses konseling dan untuk memadukan aneka teori, teknik, dan strategi yang mungkin digali dari berbagai sumber bagi mengembangkan kompetensi profesional sendiri. Selanjutnya konseling merupakan suatu proses yang kompleks tempat konselor dituntut melakukan, merespon, seperti mengamati/memperhatikan, mengingat, dan memadukan aneka macam pesan yang terkomunikasi, sambil konselor menciptakan kondisi-kondisi hubungan konseling yang efektif yang memungkinkan klien tulus dan terbuka terhadap konselor. Agar konselor dapat menangani proses tugas kompleks itu, maka ia harus memiliki suatu sistem untuk mengorganisasikan kegiatan-kegiatannya.
Menurut Brown and Lent (1984), ada empat bidang kegiatan yang berhubungan dengan ahli-ahli psikologi dan konseling profesional, etika, dan isu-isu legal yang sudah diperbaharui (review) yaitu:
1. Memelihara Kerahasiaan
Tentang layanan individu dan kelompok, yang terpenting adalah memelihara kerahasiaan (etika konseling). Rahasia klien tidak boleh dibocorkan kepada siapapun, kecuali atas izin klien misalnya untuk keperluan pengobatan dan pendidikan. Jika koneslor membukakan rahasia klien maka dia akan mengalami hukuman profesi yaitu pencabutan lisensi dan prakteknya.
2. Penelitian dan Publikasi.
Kegiatan profesional lainnya dari koneslor atau psikolog adalah penelitian dan publikasi. Hal ini tetap berkaitan dengan etika profesi. Artinya ada pembatasan hak orang lain yang diteliti sehubungan dengan kerahasiaan, hak pribadi, dan sebagainya, yang harus memperoleh izin dari klien atau pihak-pihak yang diteliti.
Penelitian terhadap individu manusia harus ada aturan kemanusiaan seperti rahasia pribadi, dimana hal itu mendapat perlindungan dari hukum legal negara. Namun bila negara dan individu atau kelompok telah memberi izin maka kegiatan tersebut boleh dilakukan.
3. Kegiatan pendidikan/pengajaran, pelatihan dan internship diluar kampus, seterusnya diteruskan dengan seminar dan lokakarya, merupakan hal yang harus pula dilakukan konselor dan psikolog.
Pengertian profesi adalah pekerjaan yang menuntut dedikasi dan latihan tingkat tinggi serta melibatkan mental dan sikap mental yang baik. Jadi profesi bukanlah sebagai pekerjaan manual. Beberapa jenis profesi yang terkenal misalnya dokter, insinyur, konselor dan guru.
Khusus untuk profesi konseling masih memerlukan perjuangan yang panjang, karena sampai saat ini di negeri ini profesi konseling tersebut masih belum seperti yang diharapkan. Minimal ada tiga hal yang harus dipertimbangkan yaitu: 1.Pendidikan calon konselor, 2. Pelatihan untuk mencapai credit-point tertentu sehingga lulus ujian profesi, 3. Sambutan masyarakat pengguna dan masyarakat ilmiah.
Sesuai definisi di atas maka syarat-syarat suatu profesi konselor adalah: 1. Sikap mental, 2.kepribadian (dedikasi) dan, 3. Pendidikan dan latihan tingkat tinggi. Pada profesi konseling pandangan terhadap klien adalah sebagai manusia yang berinteraksi dengan lingkungan, sehingga perilaku manusia harus dipandang sebagai ekologi manusia dengan lingkungan (ecological).